NYALAKAN TANDA BAHAYA PADA AUMAN SUMATERA!

Leluhur kita pernah hidup berdampingan dengan sang raja rimba

Nyalakan Tanda Bahaya

Populasi Harimau Sumatera kini menurun. Berjumlah kurang lebih 300-400 individu saja. Data itu pun diambil pada tahun 2004.  Sebelumnya kita sudah kehilangan dua spesies kucing terbesar di muka bumi ‘Harimau Bali’ pada dekade 30-an dan ‘Harimau Jawa’ pada dekade 80-an. Masing-masing punah karena terusir dari habitatnya, yakni pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan sawit, dan juga karena perburuan yang masif. Atas nama benefit, akankah kini kita kehilangan auman dari tanah Sumatera?

Hal ini yang disuarakan oleh rapper kenamaan, Tuan Tigabelas yang merilis lagu terbarunya ‘Last Roar’. Lagu berdurasi empat menit ini mengajak kita untuk mendengar storytelling sang raja rimba. Sama seperti Harimau Sumatera yang dikenal sebagai pemburu efisien, kita yang mendengar lagu ‘Last Roar’ ini seperti diburu pertanyaan-pertanyaan oleh Tuan Tigabelas dan harus wajib sesegera menjawabnya.

“Rumah kami dibakar untuk kelapa sawit. Lalu kaumku harus tinggal di mana lagi? Coba jawab manusia apa salah kami? Kenapa kau bunuh kami, rusak hutan kami?”

Lewat auman lagu sang raja ‘Tuan Tigabelas, kita jadi tahu bahwa kitalah manusia pelaku utamanya. Sebagai manusia seolah jadi pelaku utama yang membantai, membunuh, menggusur mereka. Negara pun ikut andil dari permasalahan ini yang hobi membuka lahan untuk perkebunan sawit atas nama profit. Hubungan yang dulu terjalin antara manusia dan harimau pun terputus karena ingkar janji manusia.

Statusnya kini dalam bahaya. Padahal perannya di hutan sangat signifikan. Sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan, Harimau Sumatera punya peran penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaanya sebagai penjaga yang melindungi kelestarian dan keselamatan populasi mangsa liar. Di bawah pengendaliannya, keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan tetap terjaga.

Tuan Tigabelas berharap lagunya bisa memberi sudut pandang baru terhadap siapapun yang mendengar agar bisa lebih aware terhadap energi, alam, satwa, dan khususnya keberadaan Harimau Sumatera. Dikutip dari akun Twitter miliknya, Upi, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa semua royalty yang ia dapat dari lagu Last Roar baik dari audio, streaming visual, ataupun merchandise nantinya akan didonasikan sepenuhnya untuk konservasi Harimau dan hutan.

Hubungan Manusia dan Harimau

Menurut buku karya Peter Boomgaard Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600 -1950’, harimau dan manusia saling hidup berdampingan satu sama lain. Hormat pada Harimau sudah berkembang lama di tanah Sumatera. Kepecayaan dan cerita ini sudah lahir secara turun-temurun. Harimau di Sumatera Utara dihormati dan dipanggil Ompung yang memili arti kakek dalam bahasa batak. Sebagai bentuk penghormatan kepada yang dituakan.

Budaya leluhur-penghormatan ini diamini oleh masyarakat setempat sehingga konflik antara manusia dan harimau tidak terjadi. Seperti ketika meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki hutan atau membuka ladang kepada Babiat Sitelpang. Sebutan itu ditujukan sebagai legenda bagi orang batak yang bermakna harimau pincang sebagai penjaga ibu serta anak yang diasingkan dalam hutan.

Di wilayah Jambi, penghormatan harimau bisa ditemui sebagai budaya masyarakat Kerinci. Mereka percaya kalau sang ‘rimau’ tidak akan mengganggu jika masyarakat bisa berperilaku sopan saat memasuki hutan. Namun, saat ditemukan harimau mati, masyarakat akan menggelar tarian yang disebut ‘Ngagah Harimau’. Tarian tersebut bermakna ‘menghibur roh harimau’ sebagai bentuk ritual menjaga hubungan baik antara masyarakat dengan harimau.

Lain lagi di wilayah Minangkabau yang menghormati Harimau dengan memanggil hewan tersebut ‘Datuak atau Inyiak’. Hal ini yang akhirnya menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri yaitu silek (silat) harimau. Senjata bela diri yang digunakan ialah ‘kurambik’, pisau kecil seperti cakar harimau. Sementara bagi masyarakat Bengkulu, ketika ada harimau yang menampakkan diri dipercaya bahwa kondisi masyarakat sedang kurang baik. Juga ketika harimau memakan hewan ternak yang dipercaya sebagai bentuk peringatan bagi warga Bengkulu.

Sebagaimana dijabarkan, budaya leluhur dalam bentuk penghormatan terhadap harimau ternyata pernah terjadi dalam kepercayaan masyarakat kita. Konflik antar manusia dan harimau tidak terjadi jika manusia ikut sopan dan hormat agar bisa hidup berdampingan. Namun masyarakat kota dihilangkan kesadarannya dan dibangun persepsinya bahwa Harimau adalah binatang buas dan persoalan profit manusia diatas persoalan habitat harimau.

Kita sendiri pun yang sebenarnya memperkecil dan menjadikan sedikit wilayah jelajah harimau, ketika tempat berburunya kecil dan rusak, maka mangsanya juga tidak ada dan akhirnya masuk pemukiman masyarakat. Musik yang dilemparkan Tuan Tigabelas pun dapat menjadi wacana yang mengembangkan cara pandang pendengarnya. Selain menikmati karya Tuan Tigabelas, kita sekaligus diajak untuk diberi kesadaran akan populasi Harimau Sumatera dan hubungan kita sebagai manusia dengan satwa tersebut.

Mari kita bangun hubungan manusia dengan sang raja rimba!

 

Indonesia Lawan Semua

Indonesia lawan semua.jpg

Pemilihan presiden dan wakil presiden sudah ditetapkan. Setahun terakhir kita dipertontonkan aktivitas politik yang cukup melelahkan dan menjenuhkan. Apapun medium yang kita konsumsi selalu ada perbincangan politik yang tak kunjung usai. Elite politik saling serang dan memecah belah serta mengotak-ngotakan. Sementara warga sipil turut bertengkar di ranah sosial. Tak ada lagi tegur sapa diantara para tetangga dan teman di timeline sosial media bagi yang menganggap dirinya berbeda dengan kubu seberang.

Beruntung ada pihak yang memberi alternatif pilihan. Walaupun tak banyak, namun cukup memecah politik identitas yang berkembang di masyarakat. Ada yang berupaya menyatukan. Melawan dengan narasi persatuan. Salah satunya adalah gerakan dari Urbain yang bekerja sama dengan Ras Muhammad, Tuan Tigabelas, dan Mukarakat. Mereka melempar narasi optimisme-persatuan lewat medium musik. “Indonesia vs Everybody’ sebagai judulnya. Dibuka oleh Ras Muhammad yang disusul oleh Mukarakat dan Tuan Tigabelas yang masing-masing saling bergantian menembakkan lirik-liriknya ke telinga kita. Menurut Saya, kolaborasi antara Ras Muhammad, Mukarakat, dan Tuan Tigabelas sangat solid dan sebagai bentuk representasi kebhinekaan yang kita punya.

Music (dance) video tersebut diluncurkan pertama kali sebelum pemilu 2019 kemarin, 16 April 2019. Kemudian disusul dengan official music video-nya pada 13 Juni 2019 lalu. Mendalami lirik-liriknya bagaikan sebuah perlawanan bagi siapapun yang ingin memecah belah Indonesia. Nada optimisme dan narasi perdamaian pun tergambar sebagai bentuk keresahan akan realitas politik identitas-pecah belah yang tak kunjung usai.

Ditanyai terpisah, Bian ‘Kreate’ salah satu penggagas movement ini bilang bahwa alasan dibalik ‘Indonesia vs Everybody’ ialah karena sekarang sudah waktunya untuk gabung dan bersatu juga sebagai satu negara. “Kita merasa udah siap dan udah layak dan mampu melawan negara-negara lain di bidang apapun.”, tambah Bian.

Rico Lubis menambahkan bahwa “Kita harus bersatu, harus akur di mata dunia. Makanya kita launching lagu Indonesia vs Everybody bersama Mukarakat, Ras Muhammad, dan Tuan Tigabelas sehari sebelum vote (Pemilu).” Rico memiliki harapan agar orang Indonesia semakin bangga baik yang tinggal di luar sana bahwa Indonesia bisa bersaing di mata ekonomi, olahraga, dan prestasi lainnya.

Video musik ‘Indonesia vs Everybody’ dapat dijumpai dengan meluncur ke kanal Youtube Urbain.inc: Indonesia vs Everybody.

Image result for Indonesia VS Everybody

This is what we called Indonesian youth movement. Real movement.

Berikut Saya tambahkan lirik Indonesia vs Everybody

RAS MUHAMMAD

Kontra Versus Everybody

Hati-Hati Jangan Main Dengan Api

Lebih Panas Dari Surya Digurun Sahara

Bersiap Untuk Serempet Segala Bahaya

Bukan Terbuat Dari Tempe

Atau Berisi Dinamit Sumbu Pendek

Woi! Cobaan, Tantangan Akan Membangun Karakter

Harga Diri Bagaikan Black Panther

Dengarlah

 

MUKARAKAT

Temukan Arti Keragaman Itu Apa

RAS MUHAMMAD

Rantai Persaudaraan Tak Kan Mungkin Patah

Melihat Masa Depan Cerah Bagai Teropong

Insan Dari Timur, Ko Tra Kosong!

Horo!

Jika Bersama Kita Kolosal

Menguasai Secara Global

Danger! Danger!

And Here Comes The Trouble

Danger! Danger!

And Here Comes The Trouble

U N I T Y

What’s Up!

U N I T Y

What’s Up!

U N I T Y

 

MUKARAKAT

Rapholic Ambil Alih Ras Kasi Sentuhan Beda

Kasih Kibar Bendera Dong Tau Ini Berbahaya

Kaki Masih Di Tanah, Bicara Masih Sama

Tra Pernah Baomong Yang Tinggi Lewat Kepala

Barat Siapkan Selongsong Tong Padatkan Yang Kosong

Dunia Hujam Deng Taring Tong Bungkam Suara Nyaring Nyong!!!

Kas Tau Dong!!!

Ini Garuda Muda

Kasih Tunjuk Muka Sampai Dong Hafal Semua Nama

Serupa Dermawan Berikan Toleran Pada Yang Membutuhkan

Rakat Sampaikan, Di Tiap Bait Ku Berikan Ocehan

Woe, Metafora Berimaku Berkumandang

Siapapun Yang Menantang

Indo Siap Bunyikan Gendang

Sa Putra Nusa Tenggara

Datang Kas Tunjuk Muka Hadir Dengan Gebrakan Baru Yang Tak Kau Sangka

Bakar Semangat Jiwa Membara Bagai Sangsaka

Sa Trakan Biarkan Indonesiaku Terluka

 

Tuan Tiga Belas

Hey Yo Hey Yo

Indo Boys Let’s Go

Datang Taklukan Dunia Lewat Stereo

Amunisi Full Tapi Tetap Keep It Low

Mental Macam Baja Tetap Ramah Tamah You Know

Putra Nusantara Maju Dengan Karya

Bawa Tinggi Identitasku Ke Udara

Kita Basudara Dimanapun Berada

Bersama Majukan Indonesia Tuk Berjaya

Tanah Tumpah Darah, Tanah Raja Raja

Hey Kawan Jangan Sampai Kita Dipecah Belah

Rapatkan Barisan Kaya Karena Perbedaan

Bilang Dunia Kami Siap Hadapi Semua Tantangan

Cuma Pada Merah Putih Kami Semua Akan Obey

Siapapun Yang Datang Kami Pantang Mundur No Way!

Dari Sabang Sampai Merauke

Eyoo Mari Kemari

Ini Indo Lawan Dunia Are You Feelin Me?

U N I T Y

What’s Up!

U N I T Y

 

MUKARAKAT

Sa Kasi Kau Umpan Kalo Masih Lapar Tuk Memburu

Biar Rakat Yang Puas Kan Lewat Rima Porsi Buruh

Izin Kan Sa Babat Dentuman Yang Bergemuruh

Dengan Seluruh Sa Pu Logat Khas Mabuk Sageru

Ini Indo Punya Jurus Sikat Terus Tanpa Jeda

Sa Tantang Kalian Yang Bikin Rusuh Sa Pu Negara

Jangan Ko Diam Saja Kepakan Sayap Garuda

Yang Bersemayam Dalam Jiwa NKRI Tetap Ke Udara

Indonesia Tanah Air Beta

Tetap Satu Jiwa

Walau Berbeda-Beda

Beda Suku Beda Budaya Beda Agama Beda Itu Membuat Kuat

Tunjukkan Ke Dunia Luar Demi Pancasila

Hancurkan Semua Bibit Perpecahan

Dan Tunjukkan Bersama Kita Bisa

Tak Bisa Terpisah

Now Listen

Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Hancur Tanpa Sisa

U N I T Y

What’s Up!

U N I T Y

What’s Up!

 

Ras Muhammad

Indonesia Lawan Semua

Indonesia Maju Pemuda

Let’s Go Let’s Roll Let’s Go Let’s Roll

 

 

Pengetahuan Hari Ini dan Masa Depan

Deugalih 1

Sehabis membaca sedikit tulisan Ki Hajar Dewantara dalam buku Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu, Saya teralihkan dengan tulisan mas Galih (Deugalih & Folks) di platform Jurnal Ruang. Dari sini, baru tau ternyata mas Galih (@deugalih) ini seorang guru. Mengawalinya sebagai pustakawan di Indramayu, punya perpustakaan sendiri, menginisiasi kelas mendongeng, dan menjadi guru formal di Jakarta dan Jogja.

Saya mengagumi tulisan esai mas Galih. Penyampaiannya merunut sejarah-budaya untuk menjelaskan konteks yang ia bicarakan. Cara menjelaskannya tidak tergesa-gesa dan detail. Sama seperti di album miliknya ‘Anak Sungai’ yang seolah beliau sedang bercerita dengan baik kepada pendengarnya. Saya menikmati ketika mas Galih menggambarkan situasi GOR Saparua dan pengaruhnya bagi anak muda pada era orde baru, juga Warisan Punk (Kolektivitas, Budaya DIY, dan Zine), Ekosistem Pasca Reformasi dan Era 2000an, Pengetahuan Arus Bawah di ruang-ruang kolektif.

Yang menarik, mas Galih selalu bicara bahwa Ruang Independen/Kolektif (di luar akademis) bisa jadi tempat bangkitnya pemikiran-pemikiran baru. Ruang ini dirancang supaya budaya komunal bisa tumbuh secara alami. Saya pun sedang merasakan hal yang sama, melihat ruang-ruang kolektif itu tumbuh dan melahirkan wacana-wacana yang mengembangkan cara pandang kaum muda. Seperti yang juga saya temui; Kedai Buku Jenny di Makassar, House of Muara di Surakarta, Ladang Rupa di Bukittinggi.

Menurutnya, “Ada ruang-ruang seperti itu. Di desa, misal, orang bisa pintar karena ada warung. Petani datang ke sana, PNS ke sana. Mereka bertukar pikiran dan berbagi informasi sembari ngopi. Dan tempat mereka makan itulah yang bikin mereka bisa berkembang dan berkumpul.

Mas Galih ternyata mengajar di Jogja Green School, yang berarti Saya satu kota sama beliau. Saya sempat melihat anak didiknya diajak mendengarkan dan menganalisis sebuah lagu. Pasti seru ya jika punya kesempatan ngobrol tatap muka dan belajar dari pemikiran-pemikiran mas Galih (@deugalih), karena membaca dua esai dan satu dialog di artikel jurnal ruang rasanya kurang bagi Saya.

Tubuh baru ilustrasi pada Merchandise Musik bersama mas Dwiky KA

dwiky
Diskusi ‘Merchandise in Music’ bersama mas Dwiky

Diskusi hari Kamis (20/05/19) di @journeycoffeeandrecords bertemakan ‘Tubuh baru ilustrasi pada Merchandise Musik bersama mas @DwikyKA. Dipandu langsung oleh mas @arghamahendra. Mas Dwiky diawal bercerita mengenai keterlibatannya di skena hardcore (2011) dan kolektif Youthful Lust Communion di Surabaya, yang salah satu eventnya adalah Getnowes. Kolektif ini banyak menginisiasi dan mensupport gigs sekaligus merilis merchandise.

Saya berkesempatan bertanya peran merchandise bagi industri musik dan band di Indonesia pada konteks saat ini, ketika kehadiran streaming musik dan intensitas membeli album musik berkurang. Dan ternyata revenue yang dihasilkan besar juga ya pendapatannya. Melebihi rilisan musik. Dan bentuk merch pun tak hanya kaos, bisa toys, mug, dll.

Terlebih kaos bagi anak muda dianggap sebagai identitas kultural. Dan mungkin pernyataan ini relevan “So, fans are craving more something physical”.

Diskusi berlangsung intens karena mas Dwiky banyak bercerita mengenai karakteristik ilustrasinya ‘Science-Fiction’. Sekaligus karakteristik ilustrasi Death Metal yang identik dengan hal gelap, kasar, ekstrim. “Gelap itu lebih apa adanya. Lebih basic.” Ada juga mas @gunkbudi yang memberi pengalamannya ketika berkolaborasi dengan Danila/.Feast (Saya agak lupa), yang mencatat “400 pcs merch terjual dalam 3 hari.” Edan euuuy.

Lebih lanjut, Mas Dwiky banyak terlibat proyek seru dan menarik, beberapa diantaranya; Cover majalah Rolling Stone, ketika kala itu Dream Theater manggung di Kridosono, membuat ilustrasi band kasidah modern, Nasida Ria, sebagai bentuk kolaborasi dengan kolektif seni Ruru. Menurutnya lirik Nasida Ria begitu Futuristik, seperti judul bom nukir yang ia contohkan. Kolaborasi terbaru lainnya yakni bersama Morfem. Juga kolaborasi yang bersifat charity, salah satunya ketika penggalangan dana operasi Yockie Suryo Prayogo.

Sekolah Rap, Sekolah Rakyat Ala Tuan Tigabelas

Wew Class, Sekolah Rap, Sekolah Rakyat.  Tuan Tigabelas memberikan kesempatan kepada siapapun untuk belajar dan mengenal lebih jauh tentang musik dan visual khususnya hip hop secara spesifik, rap, videography, dan music production.

Berawal dari omong kosong tongkrongan dibentuklah sekolah rap. Wew Class adalah program kolektif yang dijalankan di tahun 2018 lalu. Tujuannya memberikan kesempatan kepada siapapun untuk belajar dan mengenal lebih jauh tentang musik dan visual khususnya hip hop secara spesifik, rap, videography, dan music production.  Kelas ini dikelola, salah satunya oleh rapper asal Barat Jakarta-Tanah Sumatera, yaitu Tuan Tigabelas. Menurutnya sekolah ini didirikan karena sulitnya mencari tempat untuk belajar rap ketika ia memulai karir sebagai rapper. Begitupun juga ketika ingin membuat video klip dan memproduksi musik yang mungkin hanya bisa dipelajari di tutorial Youtube. Hal ini dirasakan sebagian besar oleh pelaku-pelaku hiphop lokal tanah air.

Sebagai sebuah ‘sekolah’, Wew Class tak hanya dibentuk dengan seadanya saja, melainkan Tuan Tigabelas bersama teman-teman dari Wew Records membuatnya dengan proper, “Pengajar-pengajar yang kita panggil, bukannya sekedar gua bilang terimakasih, nggak. Gua kasih fee, gua kasih transport juga. Gua usahain kasih equipment yang cukup. Lo buat ngajar butuhnya apa? Gua sewain. Walaupun akhirnya kita utang juga hahaha. Gua pengennya sampe gitu.” Cuplikan jawab tuan tigabelas. Tenaga pengajar yang terlibat yakni TuanTigabelas-Yacko untuk kelas rap, Bonie MC-DJ Teezy (Bless the mic) untuk mengajar kelas Music Production, Jovan Arvisco dan Indra DomDom untuk kelas videography.

Tuan Tigabelas bersama Yacko merancang kurikulum bagaimana caranya menyiapkan teman-teman di kelas dalam sebulan. “Kita bikin sekolah singkat selama sebulan. Ada 4 kali pertemuan. Mereka bisa belajar. Ketika mereka keluar, mereka bisa bikin lagu sendiri.”, kata Tuan Tigabelas dalam wawancara bersama SLAM Indonesia. Di hari terakhir kelas music production bikin musik yang diisi sama kelas rap, dibikinin video klip sama kelas videografi. Lagunya pun keluar di Spotify dan juga video klipnya. Sehingga ketika mereka lulus dari kelas ini punya karya kongkrit siap dinikmati publik.

Jika dulu Tan Malaka mengelola “SI School” yang ditujukan khusus bagi golongan yang tak dapat tempat untuk bersekolah di Kota Semarang. Wew Class yang dikelola Tuan Tigabelas bersama kawan-kawan Wew Records ini diikuti oleh orang-orang yang tak pernah bersentuhan dengan ranah rap dan recording. “Gua pikir kan bakal rapper-rapper yang ikut. Tapi 80 persen yang ikut kayak orang yang nggak tau nulis lirik tuh gimana.” Ujar Tuan tigabelas.

Awalnya Tuan Tigabelas ingin membebaskan biaya Wew Class ini, namun menurut pihak yang menjadi tempat kerjasamanya menolak, “Tempat yang gua ajak kerjasama keberatan, karena mereka berpendapat mindsetnya akan begini kalo ilmunya lo dapet gratis, lo nggak akan ngehargain itu. Akhirnya gua cuman kasih kayak sekedar persyaratan lo bayar 100 ribu tapi lo dapet kaos, dapet snack tiap belajar, dan dapet 4 kali pertemuan. Jadi 100 ribu kayak prosedur aja.”

Jumlah yang mengikuti kelas rap ada 15 orang, kelas videografi ada 8, dan kelas music production ada 10. Menurut Tuan Tigabelas, ada beberapa hal yang mendasari dibuatnya Wew Class ini, pertama ialah tatap muka adalah metode yang paling bagus untuk belajar dibanding hanya belajar di kanal Youtube; kedua, giving back to people, yakni di mana untuk bisa sekolah musik cukup mahal, baik rap maupun video. Karena awalnya dulu belajarnya sudah ‘berdarah-darah’, “Sekarang saat di mana kita dapet ilmu dikit, terus kita punya rejeki.”, tutur Tuan Tigabelas. Ketiga, menurut pengalamannya hip hop seperti terapi positif. Ia menambahkan bahwa di era yang sekarang, anak muda terjebak di ranah gadget dan sosial media banget, mereka punya suatu platform untuk melampiaskan emosi, amarah, dan hal lainnya sebagai sebuah karya atau hal positif.

Peserta yang terlibat di Wew Class pun diberikan tempat untuk menerapkan ilmunya.  “Begitu mereka keluar, kita langsung ajak kerjasama beberapa EO, kasih slot dong buat kelas gua ini manggung. Akhirnya mereka ngerasain manggung di panggung gede, Lututnya gemeteran. Mukenya pucet. Gua akhirnya ngeliat tuh. Tapi akhirnya ilmu yang dia dapatkan nggak cuman di kelas tapi akhirnya berhadapan langsung dengan penonton.” Tuan Tigabelas menganggap bahwa setelah kelas ini para partisipan Wew Class akan jauh lebih siap. Bahkan ada yang sudah sampai membuat lagu sendiri setelah keluar kelas.

Tuan Tiga Belas berharap Wew Class bisa dibawa ke sesuatu yang lebih beda. “Gua pengen bawa ini ke sekolah sih. Mana tau bisa jadi ekskul. Gua pengen hip hop sampe ke ranah sana sih.” Ia sendiri tak terlalu memusingkan masalah jumlah peminat yang ikut, satupun yang terlibat tak masalah. Ia juga menambahkan akan nilai hadirnya ruang public di tengah masyarakat. “Di era sekarang, ruang publik sangatlah sedikit. Impactnya pun bisa macam-macam, seperti obesitas. Karena mereka tak ada tempat buat main, dan juga tak punya tempat untuk nongkrong bersama teman-teman kelompoknya.”, tutur Pria kelahiran tanggal 13 itu. Ia membayangkan kriminalitas di era informatika ini juga karena energi anak muda yang tersalurkan bukan pada tempatnya, dimana dulu lahan lapang menjadi alternatif tersalurnya energi untuk bermain dan berinteraksi. Banyak berbeda saat ini, mereka yang salah arah menyalurkan energi lebih tersebut untuk merugikan orang lain.

Mengembalikan Esensi Musik melalui Budaya Berbagi

 

Tulisan dipublikasikan Mei, 2016.

Konsep distribusi melalui jaringan digital dengan mengandalkan unduhan dalam format digital menjadi solusi untuk menciptakan label yang tidak memerlukan tingginya biaya operasional, maupun kendala reproduksi dan distribusi karya itu sendiri. Konsep pendistribusian ini pun muncul sebagai akibat dari teknologi yang semakin berkembang.

Sebelumnya, sebagian dari kita pun pasti mengenal label-label rekaman yang sudah beredar lama dalam industri musik. Sony-BMG Entertainment Indonesia dan Universal Music Indonesia merupakan perusahaan rekaman besar yang sudah mendistribusikan beragam rilisan musik di Indonesia. Lalu kemudian dikenal juga, indie label yang merupakan label rekaman mandiri yang mengenalkan dan mempromosikan variasi musik non-mainstream. Seiring perkembangannya juga, dikenal fenomena distribusi baru melalui netlabel.

Tak mudah mengenalkan netlabel ke masyarakat. Terutama dari konsep dan ideologi yang diusung oleh netlabel diawal kemunculannya. Konsep yang memberikan karyanya secara gratis dengan mendistribusikan dan mengunduh file audio digital di internet merupakan ideologi free culture yang ditawarkan oleh setiap netlabel. Melalui ideologi kultural tersebut, netlabel dapat dijadikan sebagai sebuah pergerakan yang sarat akan nilai-nilai sosial di dalamnya.

Setiap pemilik netlabel perlu memahami dan memperhatikan lisensi Creative Commons dalam setiap rilisannya. Sebagai hukum yang meminimalisir adanya pelanggaran-pelanggaran, termasuk lembaga lisensi flexible dengan pasal-pasal yang ada. “Ada salah satu pasal yang menyebutkan ‘boleh meng-copy atau memperbanyak, memainkan, mereproduksi ulang lagu. UU ini memiliki sifat yang menekankan pada kepemilikan bersama atas suatu karya. Jadi, siapa pun berhak”, jelas Bagus Anggoro Moekti sebagai salah satu bagian dari Yes No Wave. Yes No Wave merupakan salah satu netlabel yang berbasis di Yogyakarta.

Yes No Wave Music bisa jadi nama terdepan untuk perkembangan distribusi musik berbasis netlabel. Kehadirannya dipicu oleh teknologi internet yang semakin berkembang. Era teknologi dan internet ini yang kemudian juga memberi pengaruh terhadap industri musik. Tak hanya mengenalkan konsep free culture tapi mereka juga mengembangkannya ke arah yang lebih jauh. Sejak berdiri tahun 2007, Yes No Wave sudah merilis puluhan rilisan. Nama-nama musisi kondang asal Yogyakarta seperti Frau, Rabu dan senyawa adalah deretan nama-nama yang pernah dirilis oleh Yes No Wave Music.

Ide mengenai Yes No Wave Music muncul dari kepala seorang bernama FX Woto Wibowo alias Wok the Rock atau yang akrab disapa Wowok. Berawal dari kegemaran barunya di internet, ia menemukan metode distribusi melalui internet dengan menaruh seluruh albumnya di website sehingga dapat diunduh secara gratis. “Mas Wowok ini sendiri merupakan seniman yang hobi sama teknologi, serta mencoba peluang-peluang yang kemungkinan bisa digarap untuk kedepannya itu apa.” ungkap Bagus sebagai orang yang terlibat juga dalam operasional Yes No Shop. Yes No Shop merupakan kanal penjualan dan marchandise dari karya-karya band yang lagunya dirilis oleh Yes No Wave Music. Hasil dari penjualan diharapkan mampu memberikan subsidi bagi kelangsungan kerja dan pengembangan operasional netlabel yang berbasis di Yogyakarta ini.

Dengan latar belakang desain komunikasi visual dan web design, ia mencoba mengadaptasi metode ini untuk mendirikan netlabel Yes No Wave Music yang berbasis di Yogyakarta. Bagus yang mengaku baru bergabung seteah terbentuknya Yes No Wave pun bercerita kepada Teras Pers mengenai pengalaman kegagalan Wok the Rock mendirikan label band punk karena kendala finansial dan operasional. “Diawali ketika Mas Wowok yang dulunya punya label musik Realino Record yang merilis album band punk bersama komunitas band punk yang ia bentuk. Tetapi, label ini tidak laku”, cetus Bagus yang bergabung dengan Yes No Wave tahun 2014.

Sistem kurasi karya yang dilakukan oleh Yes No Wave merupakan hasil penilaian subjektif dari  Wok the Rock. “Tidak ada syarat khusus disini, kurasi sesuai dengan selera mas Wowok sendiri. Jika ia suka dengan lagu ataupun bandnya, maka ia meng-upload lagu tersebut” tutur Bagus mewakili Wok the Rock yang saat itu berhalangan untuk ditemui.

Bagus menuturkan kerisauan yang dirasakan oleh Wok the Rok sebagai pendiri Yes No Wave. Jatuhnya industri musik Indonesia paska digitalisasi musik dalam format MP3 menjadi “momentum antagonis” yang meruntuhkan dominasi tunggal atas mekanisme distribusi rilisan fisik. Perkembangan teknologi yang kian masif dan mengancam keberadaan pengelola label fisik menandakan terbentuknya Yes No Wave sebagai netlabel pertama yang populer di Indonesia. Konsep sharing music atau musik bebas unduh ini muncul sebagai alternatif ekonomi dalam mengatasi persoalan pengelola musik fisik mengenai permodalan.

“Keberadaan netlabel mengembalikan esensi musik itu sendiri, bahwa musik sebenarnya hanya untuk didengarkan” jelas Bagus. Dari misi itu, maka netlabel sendiri memberlakukan secara gratis setiap karya yang mereka distribusikan, sehingga memungkinkan semua orang memiliki alternatif untuk mendengarkan musik.

Netlabel mengubah pola publikasi, distribusi, dan promosi, serta konsumsi musik menjadi lebih mudah dan menyebar secara luas. Netlabel hadir sebagai bentuk produk dari media baru yang interaktif. Sebagai label rekaman yang berorientasi pada immaterial dan non-profit, netlabel ingin mencapai edukasi dan pembangunan orang-orang yang terlibat dalam netlabel.

Macam-Macam Galang Dana di Indonesia

Mulai dari patungan untuk sosial, politik, sampe patungan bikin album musik. Indonesia awal berdiri pun dibangun atas dasar kesepakatan patungan raja-raja Nusantara.

Kaum muda, apalagi yang senang berkelompok, lekat dengan budaya patungan. Mulai dari yang saling ngumpulin temen untuk patungan berlangganan Netflix setiap bulan. Supaya punya bahan obrolan di tongkrongan. Iuran duit dari uang jajan di sekolah buat kas kelas. Ataupun kolekan duit di tongkrongan buat beli intisari.

Ranah yang paling besar, patungan lebih sering kita jumpai dalam kalimat galang dana. Sama aja sih maknanya. Galang dana lekat sekali dengan nilai-nilai yang dianut kita. Sebut saja gotong royong. Sudah jelas itu adalah budaya kita sejak lama. Mundur jauh ke belakang, kita tentu pernah tahu bahwa para raja-raja di Nusantara memutuskan bersepakat ikut ‘patungan’ membantu Indonesia ini berdiri.

Ngomongin penggalanan dana, bentuk yang paling sering kita lihat ialah untuk korban bencana. Atau memberi untuk saudara-saudara yang dirasa ekonominya berada di bawah kita. Biasanya yang ditolong karena memiliki urgensi lebih besar. Sehingga orang-orang tergerak untuk turut menginisiasi bantuan. Bisa berupa materi ataupun doa. Bantuan keduanya sama besarnya.

 

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Di Jakarta kemarin kita sempat mendengar para pemilik warung dijarah habis oleh massa kericuhan 22 Mei. Daganannya ludes, tabungan pun dirampok. Sang pemilik warung, Abdul Rajab, yang usianya tak lagi muda, 62 tahun, mengaku mengalami kerugian sekitar 30 juta. Adapun pemilik warung lain, Usma, yang mengaku warung kelontongnya dijarah habis isinya. Bahkan nyaris dibakar.

Berita ini menyebar di sosial media. Warganet meradang. Ada juga yang bergerak cepat menawarkan bantuan. Yang lainnya, menginisiasi untuk menggalang dana. Berita terakhir, Presiden Jokowi turut mengundang pemilik warung bernama Rajab dan Ismail ke Istana dan ditawari bantuan. Sehingga bisa kembali berdagang di warungnya.

Bantu.JPG

Berita dari voaindonesia.com

“Kampanye Rakyat”

Penggalangan dana juga pernah kita lihat dan jumpai di ranah politik. Aneh juga kalau dipikir-pikir. Mereka para pelaku politik tentu punya modal besar untuk masuk ataupun mencalonkan diri di ranah politik. Mereka para elite politik Saya yakin tak kekurangan uang sama sekali. Miskin pun tidak. Namun hal ini pernah terjadi. Tak jauh-jauh dan rekam jejaknya masih ada di internet, yakni upaya penggalangan dana yang dilakukan Jokowi pada Pilpres 2014. Ketika berduet dengan Jusuf Kalla.

Dilansir pada Katadata.co.id, ketika itu, Jokowi-JK menggalang dana melalui rekening “Gotong Royong Jokowi-JK”. Ada tiga rekening yang dibuka Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Dalam waktu sebulan setelah dibuka, rekening “Gotong Royong Jokowi-JK tercatat mampu menghimpun uang sebesar Rp 147 miliar. Dana tersebut, berasal dari pihak perseorangan maupun perusahaan.

Jkw Jk
Berita dari Merdeka.com

Angka yang didapatkan cukup besar, yakni menyentuh angka Rp 147 miliar. Sayangnya angka sebesar ini hanya digunakan untuk kepentingan kampanye seperti iklan, promosi, menaikkan elektabilitas, membuat event politik. Andaikan uang tersebut bisa dialokasikan kepada kebutuhan yang lain seperti di ranah sosial, ataupun membangun fasilitas publik untuk anak muda, atau membantu yang lain. Tapi kan itu dana kampanye, jadinya uang yang mereka dapatkan ya mungkin memang untuk masalah kampanye sendiri saja.

Sebetulnya ada contoh lain, namun Saya memutuskan untuk memilih contoh penggalangan Jokowi-JK saja karena dirasa paling besar jumlahnya yang diterima.

Kenapa ya publik bisa turut berpartisipasi dan menerima konsep penggalanan dana oleh para elite politik, khususnya Jokowi-JK, dalam kasus ini?

Menurut analisa gembel Saya, mungkin waktu itu, Jokowi dianggap bagian dari rakyat dan yang paling bersih track recordnya sebagai pemimpin. Tidak aneh-aneh selama menjabat Walikota dan Gubernur. Dan sebagaimana kita tahu bahwa biaya politik didesain sangat tinggi. Butuh modal yang besar. Ketika publik mengetahui permasalahan biaya politik tinggi dan dihadapkan pada sosok Jokowi yang lempeng dan transparan. Publik pun menaruh harapan dan percaya saja kepada Jokowi. Ibarat seperti kita menyumbang untuk memilih presiden yang kita mau. Sehingga ketika terpilih ia tak boleh macam-macam.

Akhirnya, publik pun mulai cepat bergerak dan berpartisipasi. Relawan mulai turun dijalan menggalang dana. Urgensinya ketika dana cepat terkumpul, Jokowi bisa gunakan itu untuk menjalankan kegiatan kampanye. Publik yang sudah mengenal Jokowi menginginkan hal itu. Sehingga Jokowi bisa dikenal lebih luas lagi di daerah-daerah lain yang belum mengenalnya. Tujuannya agar lebih banyak yang mengenal dan memilih Jokowi sebagai calon presiden yang berasal dari rakyat.

Patungan untuk Rekaman

ERKK
Foto dari Efek Rumah Kaca

23 Februari 2013.

Jauh dari penggalangan yang kita temui seperti bencana, kemiskinan, kampanye rakyat yang sudah Saya sebutkan dan jelaskan sebelumnya. Ada hal menarik yang berkaitan dengan galang dana dan kaum muda.

Sekitar enam tahun lalu, Pandai Besi, band asal Jakarta ini akan rekaman. Pandai Besi menyebut dirinya sebagai kolektif musik yang merupakan spin-off dari Efek Rumah Kaca. Pandai Besi adalah proyek baru yang digagas dari rasa kebosanan personil Efek Rumah Kaca yang dirasa membutuhkan penyegaran. Bersama anggota tambahan dan nama baru, Pandai Besi mencoba bersenang-senang dengan menempa lagu-lagu lama Efek Rumah Kaca dengan interpretasi baru, menyuntikkan warna segar yang berbeda dari patron biasa.

Manajer band Efek Rumah Kaca, kala itu, Yurie mencoba metode baru bersama Pandai Besi untuk memasarkan musik melalui crowdfunding atau pendanaan oleh khalayak.

Dilansir dalam Jakarta Post, Pandai Besi menerima pesanan di awal yang bisa diakses di situs website mereka. Orang-orang dapat berpartisipasi mendukung band dengan cara memesan rekaman proyek album dan merchandise eksklusif untuk mendanai proses rekaman dan mewujudkan rekaman proyek album Pandai Besi.  Pada Februari 2013, sebuah proyek crowdfunding dimulai. Keterlibatan dana publik dalam rekaman ini, menurut Yurie dibatasi paling lambat 19 Maret 2013.

Rekaman album penuh pertamanya dilakukan di studio rekaman Lokananta yang legendaris itu di Surakarta, Jawa Tengah. Sebagai perusahaan rekaman/label musik pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1956 di Solo, Lokananta pernah mengalami zaman keemasan memproduksi piringan hitam dan kaset. Nama Lokananta sendiri diberikan oleh presiden pertama kita, yang artinya “gamelan di kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh”.

Pandai Besi terinspirasi untuk melakukan sesi rekaman di sana. Sembilan lagu dari album pertama dan album kedua Efek Rumah Kaca dimainkan oleh Pandai Besi dan direkam secara live di Lokananta, 9-12 Maret 2013. Hasilnya akan dirilis dalam bentuk piringan hitam, kaset, dan CD. Sekalipun menurut Cholil dalam Soleh Solihun Interview, Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi waktu itu tetap harus menyewa dan mengangkut alat musik dari luar Lokananta. Karena alat di Lokananta kurang sesuai digunakan untuk rekaman. Patungan kala itu dibuka mulai dari Rp 60.000 sampai Rp 10.000 dengan rewards yang berbeda-beda. Namun, nama semua pendukung tercantum di CD, juga foto semua pendukung ditampilkan di website http://www.efekrumahkaca.net.

Menurut berita yang ditunkan Provoke Online, pada 2 Agustus 2013, Kamis tanggal 1 Agustus, Pandai Besi resmi menutup crowdfunding, dan sekaligus menggelar konser rilis album mereka yang bertajuk Mini Konser Daur Baur. Penggalanan dana ini sukses, dan menurut Felix Dass, dalam Jakarta Post, lebih dari 600 partisipan bergabung dalam kampanye penggalangan dana ini. Beberapa dari mereka bahkan bersedia menyumbangkan uang lebih untuk memesan album dalam bentuk vinyl.

 Penginisiasi, Partisipasi, Transparansi

Patungan, urunan, kolekan, iuran, galang dana, crowdfunding punya makna yang sama. Namun ternyata bentuknya bisa berbeda. Ada penggalanan dana untuk sosial, ada juga untuk kepentingan politik, serta yang menarik adalah album musik. Bahkan negeri kita berdiri atas dasar patungan para Raja-Raja yang ada di bumi Nusantara. Ketika penggalanan dana itu jelas, rinci, transparan, urgent keperluannya, maka di sana selalu ada yang pertama menginisiasi, dan muncul partisipasi. Nilai-nilai gotong royong ini tak boleh lepas. Karena memang kepribadian bangsa dan warisan leluhur. Tentu masih banyak lagi yang harus saya ceritakan tentang konsep ‘patungan’, juga masih ada beberapa contoh yang Saya temui nilai-nilai kolektif lainnya di desa, dan di tempat lain.

Kalau kalian ada hal serupa yang bisa dibagikan?

 

_

Sumber:

https://pemilu.tempo.co/read/580990/isi-rekening-donasi-jokowi-jk-baru-rp-152-juta

https://www.voaindonesia.com/a/dua-pemilik-warung-yang-dijarah-massa-diundang-jokowi-ke-istana/4931727.html

http://www.dutanusantaramerdeka.com/2019/05/25-DNM-2529-pemilik-warung-yang-dijarah-akan-kembali-berdagang-usai-bertemu-presiden-jokowi.html

https://www.kitabisa.com/bantupakrajab

https://www.kitabisa.com/warkoppakismail

https://keepo.me/news/rugi-50-juta-karena-warung-kopinya-dijarah-saat-kerusuhan-22-mei-rajab-mulai-dari-nol-lagi/

https://katadata.co.id/berita/2018/08/29/seperti-pilpres-2014-jokowi-akan-galang-dana-masyarakat-untuk-2019

https://www.thejakartapost.com/news/2013/04/14/pandai-besi-efek-rumah-kaca-full-swing.html

http://indonesiakreatif.bekraf.go.id/iknews/efek-rumah-kaca-pandai-besi-rekaman-di-lokananta/

https://www.beritasatu.com/musik/98594-rekaman-di-lokananta-efek-rumah-kaca-galang-dana-publik.html

https://www.instagram.com/pandai_besi/

https://www.provoke-online.com/index.php/music/musicnews/440-mini-konser-efek-rumah-kaca-ala-pandai-besi

5 lagu Iksan Skuter yang menggambarkan situasi Indonesia sekarang

Sarinah.JPG
Berita dari Detik.com

Indonesia negeri tersantai dan terbahagia di dunia sedang tidak enak diliat. Pemilu 2019 seperti tak kunjung usai, dan tak juga mengganti lembar baru. Salah satu paslon dinyatakan menang, salah satu lainnya menyuarakan mereka curang.

Di bulan puasa ini, beberapa kelompok orang jadinya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk marah-marah, saling pukul, ancam-mengancam, tuduh, dan benci. Atas dasar kepentingan dan kekuasaan duniawi. Sebagian ada yang berdiri sejak pagi, juga ada yang disiapkan di malam hari. Sebagian lainnya perang di ranah sosial media. Juga menghakimi dan saling tuduh. Antar manusia.

Segelintir kecil lainnya seperti Saya, pasti langsung mencari lagu-lagu dari Iksan Skuter. Beliau merupakan musisi folk asal Malang. Banyak lagu-lagu mas Iksan yang menyuarakan narasi kebesaran nusantara, kritik sosial, kegelisahannya dalam hidup, dan masalah kehidupan, serta rasa syukur dalam hidup.

Meskipun tema yang diangkat, misalnya, salah satunya adalah kritik sosial. Entah kenapa lagu-lagu mas Iksan tetap bisa ditangkap dan dinikmati oleh kalangan siapapun. Diwawancarai oleh Siasat Partikelir, mas Iksan bilang, “Aku hanya menyuarakan apa yang kulihat, apa yang kudengar dan apa yang kurasa.” Musik ia percaya bisa merubah keadaan.

Indonesia Raya itu mampu mengubah keadaan lewat musik. Sebuah imperium eropa, sangat takut ketika pada suatu hari ada seorang komposer yang bernama WR Supratman. Ia membuat komposisi yang mengajak orang untuk berpikir merdeka. Komposisi yang mengajarkan rakyat Indonesia untuk menolak menjadi koloni. –  (Diambil dari wawancara siasatpartikelir.com)

Iksan
Iksan Skuter

Mendengarkan lagu-lagu mas Iksan seperti mencari kewarasan diri sebagai seorang manusia. Disamping itu, juga kita diajak ‘tertawa’ tentang kondisi negeri ini. Dan juga tentunya diajak berpikir dibeberapa lagunya. Namun yang paling penting dari setiap lagunya adalah kesadaran penuh sehingga membuat kita ‘bergerak’ dari narasi yang beliau lemparkan lewat mediumnya.

Maka dari itu lagu mas Iksan adalah pilihan yang tepat untuk menjauh sedikit dari berita-berita yang tidak sedap dilihat dan didengar akhir-akhir ini. Sembari berdoa agar chaos yang terjadi sekarang supaya cepat berlalu. Meskipun Saya tahu, siapapun yang ingin berbuat tidak baik di negeri ini, bahkan sekalipun itu masih niat, jelas tak dapat restu sama sekali oleh Tuhan YME. Seperti lirik dalam lagu ‘Negara’,

“Matikan saja tvmu, bakar semua koranmu, non-aktifkan sinyal hpmu, ku rasa itulah merdeka.”

berikut lagu-lagu Iksan Skuter pilihan Saya yang menggambarkan kondisi Indonesia yang sedang kacau. Saya cantumkan lagunya dan juga sebagian liriknya.

  • Generasi Marah-Marah

(Album Gulali/2017)

 

 

“Generasi marah-marah
maki memaki tanpa solusi
generasi marah-marah
selalu tak konkrit dan berpreori

saling makan memakan atau dimakan
saling bunuh membunuh atau dibunuh
saling basmi membasmi atau dibasmi
saling tindas menindas atau ditindas generasi televisi
generasi marah-marah bikin onar, tak berprestasi
generasi marah-marah otak dengkul makanan sebakul”
Provokator Kerusuhan di Jakarta [21-22 Mei 2019)
Pendemo.JPG
Sumber: VOA Indonesia
Asrama Brimob.JPG
Sumber CNN Indonesia

 

  • Saat Yang Sama

(Album Gulali/2017)

 

“Sementara di belahan bumi sana
manusia memuja-muja tuhannya
saat yang sama di belahan lainnya
leher ditebas atas nama agama

…manusia terus bertengkar
dan manusia terus bertengkar”

  • Pulang (2017) Jangan Seperti Bapak (2017)

(Album Gulali/2017)

Polisi VC
Credit to @masagungwillis

“Apakah kau pernah jauh dari rumah
Rindu yang menumpuk sakit dan berkecamuk
Apakah kau pernah jauh dari rumah
Terbangun di tengah malam
Dingin lapar tak tertahan”

 

“Nak, maafkanlah bapakmu
jikalau ada yang kurang dariku
jagalah cinta dan sebarkanlah dengan nurani jiwa
yang akan meneduhkan semesta.”

  • Doa Dimana-Mana

(Album: Shankara: 2016)

Doa

a.JPG
Sumber: Suara.com
“Doa itu dimana-mana
Ada di kolong sekolan
Ada di balik jamban
Ada di setiap nafasnya pengangguran
Jangan mengajari orang miskin berdoa
Jangan mengajari preman-preman jalanan berdoa
Doa itu dimana-mana
Ada di balik penjara
Ada di setiap tetes air mata
Ada di setiap nafasnya manusia
Doa-doa mengisi alam semesta
Ada di hutan-hutan rimba
Ada di letusan gunung”

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Menurutmu, lagu apa yang paling menggambarkan Indonesia sekarang?

 

 

 

 

Menunggu kembalinya Muara Market Solo (yang pindah dan berubah menjadi House of Muara) dan karya-karya Tatuk Marbudi

Memantik sembari merekam skena anak-anak muda di Surakarta

Awal tahun 2018 yang lalu, tepat di bulan Februari, Saya bertemu dan berkenalan dengan Tatuk Marbudi. Beliau menginisiasi proyek barunya bernama Muara Market Solo (Sekarang berganti nama menjadi House of Muara). Beliau mendefinisikan tempatnya sebagai titik temu ‘Bermuara’ para pegiat kreatif, pegiat seni, dan komunitas-komunitas di Surakarta, Jawa Tengah. Mulai dari skena musik, craft, visual art, street art, pertunjukkan mulai tari, baik tari kotemporer maupun b-boy, teater, literasi buku, film, dan skate. Masing-masing saling berinteraksi dan mengapresiasi.

Bermodalkan lokasi bekas kios pasar yang mangkrak selama 8 tahun, Muara tidak hanya sekedar menawarkan kiosnya namun membangun ekosistem kreatif di Surakarta.

Tatuk Marbudi (Muara Market Co-Founder)

Beliau bercerita bahwa Muara Market Solo dulu berdiri di kawasan mati, masih lekat dengan stigma negatif, dan cukup jauh dari pusat kota. Di awal berdirinya Muara Market, Tatuk Marbudi ‘berkeliling’ menawarkan tempatnya untuk bisa mengisi ruang-ruang kosong miliknya. Namun, Tatuk paham bahwa ia tak sekedar menjual Muara, asetnya, dengan cara hard selling kepada semua komunitas yang didatanginya. Beliau ingin Muara tumbuh secara organik, sehingga keberadaannya bisa menjadi milik bersama para pelaku skena. “Kita menjadi trigger-fasilitator bagi para pegiat seni, pegiat kreatif, dan komunitas-komunitas di Surakarta untuk saling bertemu dan mengeluarkan ide-idenya serta merealisasikannya sebagai sebuah karya atau acara pemuda.”

Muara Market Illustration

Tatuk Marbudi menekankan bahwa semua komunitas bisa berkumpul di sini, saling berkolaborasi lintas bidang-generasi, dan keluar untuk menciptakan sesuatu yang besar. Laiknya konsultan, Tatuk selalu memantik dan menantang para pelaku skena di Surakarta untuk secara aktif menciptakan sesuatu. “Salah satunya ada pada platform Muara Stream. Platform ini mencoba menantang ke pelaku musik bahwa kerja band atau musisi tidak hanya selesai pada musik dan rekaman. Banyak kerja lain seperti distribusi dan membuat merchandise. Pelaku musik di Surakarta yang baru terjun di industri musik perlu ditantang untuk mengeksplorasi hal lain seperti memproduksi konsernya sendiri dan membuat acara.”, terang Tatuk.

Tak hanya itu, sebetulnya mimpi Tatuk bersama Muara sangatlah besar. “Impiannya ingin menjadi akademi non formal, yang disitu ada pengajar, ada mentor, dari profesional dan praktisi. Mendekatkan antara pendidikan formal dan industri. “Kita ada platform, salah satunya, yakni Muara Karya yakni program workshop, talkshow, creative talking, creative class, gallery. Di sini kami menawarkan saling berbagi ilmu dan pengalaman kepada anak-anak muda.” Tujuannya untuk menuntun mahasiswa atau milenial di Surakarta yang cenderung menghilangkan sebuah proses atau instan ataupun tergesa-gesa.

Saya melihat kerja keras dan keaktifan seorang Tatuk Marbudi, dengan pendekatannya, mampu memantik pelaku skena dan pemuda-pemudi di Solo untuk mengeksplorasi hal baru, menciptakan karya, dan membuat movement. Saya yakin Muara Market Solo (yang kini pindah dan berubah menjadi House of Muara) akan menjadi pusat lahirnya banyak maha karya, bermacam-macam movement, tren lokal, event yang banyak diinisiasi oleh anak muda dengan narasi besar yakni narasi kota yang sudah disiapkan oleh Tatuk Marbudi dan timnya. Sembari karya-karya itu lahir, dirinya akan merekam, mengarsipkan serta melakukan pemetaan terhadap pelaku-pelaku skena di Surakarta agar jejaknya abadi dan bisa menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

Mari kita sama-sama menunggu kembali di tahun 2019 ini, menantikan karya-karya House of Muara dari tangan Tatuk Marbudi dan kawan-kawan Surakarta yang terlibat untuk kembali menggelar dan #merayakanpertemuan para sobat-sobat indie.

Berikut foto-foto event yang pernah berlangsung di Muara Market. Foto-foto ini diambil dari berbagai sumber.

Image result for muara market solo
Muara Market (Pintu Masuk)
Image result for muara market solo
Salah satu event di Muara Market

Salam.

 

Sepekan di Universitas Indonesia

Kurang lebih seminggu yang lalu saat tulisan ini dirilis, saya sedang berada di wilayah Depok di Jawa Barat. Tujuan saya adalah untuk menghadiri rangkaian acara Pekan Komunikasi 2017 sebagai finalis lomba Adwar. Pekan Komunikasi merupakan satu ajang kompetisi bidang komunikasi tingkat universitas di Indonesia. Acara ini diadakan di Universitas Indonesia yang sekaligus sebagai penyelenggaranya. Melalui tulisan ini saya tidak ingin terlalu membicarakan secara detil mengenai rangkaian acaranya namun lebih kepada apa yang saya pelajari, dapatkan, dan alami.

Sebagai salah satu finalis Adwar yakni kompetisi di bidang Advertising dan mungkin Marketing, saya bersama tim jadi tahu apa yang dinamakan dengan istiliah yang mungkin sering kita dengar, yakni “Learning by doing”.

Saya terpaksa harus memuji kembali kinerja para panitia Pekan Komunikasi yang (selalu) menghadirkan kualitas tema yang ‘segar’ bagi mahasiswa. Buat saya sendiri, sebuah kompetisi tidak memandang besar-kecil ataupun baru atau lamanya kompetisi tersebut untuk mampu menarik mahasiswa-mahasiswa di Indonesia untuk mendaftarkan diri. Lebih dari itu, sang penyelenggara haruslah menawarkan kualitas tema dan brief penugasan yang sesuai dengan kondisi ataupun perkembangan ‘tren’ saat ini. Pekan Komunikasi di sini mampu menawarkan tema dan brief yang sesuai dengan arah ‘tren’, khususnya di bidang strategi pemasaran dan periklanan. Mereka menawarkan tantangan yakni bagaimana menyajikan sebuah strategi pemasaran dengan konsep menghibur dan agar tidak-terlihat-sebagai-sebuah-iklan melalui istilah yang dikenal dengan Advertainment melalui pendekatan Transmedia Storytelling.

Sebagaimana diketahui bahwa belakangan ini bermunculan iklan-iklan yang melakukan pendekatan Storytelling. Sebut saja iklan ‘Mz Medok’ yang disajikan Bukalapak, lalu yang terbaru ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ yang dihadirkan Tropicana Slim. Sejauh yang saya baca, mungkin kalau salah bisa dibenarkan, era ini dalam Marketing disebut sebagai Marketing 3.0 yang saat ini sudah cepat bergerak menjadi Marketing 4.0. Pada Marketing 3.0, pendekatan pemasarannya yakni “From Products to Customers to the Human Spirit”. Pendekatannya tidak lagi menjual apa yang ada dalam sebuah produk, namun lebih menawarkan value atau nilai apa yang bisa menyentuh sisi-sisi kehidupan manusia dan membantu kehidupan seseorang. Sejauh yang saya baca sih seperti itu.

Konsep Marketing 3.0 ini sudah sempat saya baca-baca diakhir 2016 hingga pada akhirnya saya (sebenarnya) melihat Pekan Komunikasi 2017 sebagai ajang pembuktian apa yang saya sudah pelajari. Jika Pekan Komunikasi 2017 sebagai sebuah brand, ia artinya mampu untuk menjawab ‘kehausan’ dari target audiensnya.

Adaptasi dan Mau Belajar

1492739102290

Sebagai salah satu generasi millennials, saya ingin mewakilkan diri sebagai generasi yang ingin cepat beradaptasi dan cepat belajar. Saya pernah membaca tulisan Paramita Mohamad yang kebetulan waktu itu mengisi workshop dalam rangkaian acara Pekan Komunikasi 2017. Isi tulisannya diambil dari kalimatnya Einstein, “Kalau kamu punya 30 menit untuk menyelesaikan masalah, pakai 25 menit untuk memahami-lebih-dalam-masalah, dan 5 menit untuk melakukan ‘eksekusi’ lewat solusi.”

Seiring berkembangnya saya ‘menjelajahi’ kompetisi, pemahaman mengenai masalah lebih awal dan lama menjadi penting daripada langsung melemparkan puluhan ide yang tidak jelas asal usulnya. Dalam penugasan brief pertama dan brief kedua, saya dan tim banyak belajar mengenai istilah Advertainment, konsep Transmedia Storytelling, dan memahami karakter anak muda, bahkan mempejari bagaimana rang-orang bisa terinspirasi dari konten-konten di LINE TODAY dan di media sosial populer lainnya.

Jika dipikir-pikir, sewaktu mengerjakan dua brief tersebut, semakin banyak kami belajar, semakin banyak pula rasa frustasi yang tak kunjung usai. Setiap ke mana-mana selalu ada beban brief yang tak berkesudahan. Ngeliat mangkok bubur keinget brief, sampai di kamar mandi pun mikirin strategi apa yang efektif buat diaplikasikan untuk menyesuaikan karakter si anak muda sebagai target audiens. Rasanya ingin guling-gulingan sampai jalan raya waktu itu. Tapi baiknya, semakin mempelajari definisi yang ada, mendalami masalah dan karakter audiens, saya dan tim menjadi mudah untuk memetakan masalah dan bagaimana-penerapan-strateginya. Yang patut digaris bawahi adalah bahwa omongan Einsten sebagaimana yang dikutip sama Paramita Mohamad itu ada benernya. Cobain deh.

Menerjemahkan Data

Begini,

Di brief pertama tugas kami waktu itu adalah me-rebranding produk budaya dan bagaimana menyajikan strategi pemasaran kepada audiens. Katakanlah bahwa produk budaya yang saya angkat tidak bagus-bagus amat, namun relevansi dan keefektifan strategi haruslah sangat baik untuk menutupi kekurangan yang ada. Saya mungkin tidak terlalu mendetailkan kampanye atau strategi pemasaran yang kami buat waktu itu.

Di brief kedua, kami ditantang untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh brand Gatsby pada salah satu produk yang dimilikinya. Tentunya menawarkan Advertainment dengan pendekatan Transmedia Storytelling. Saya dan tim merasa bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Gatsby tidak terlalu efektif dan relevan dengan target audiens. Contohnya adalah penggunaan artis pria nasional yang sedang naik daun dan lumayan ganteng lah. Namanya kebetulan saya lupa, tapi katanya sih dia cukup terkenal gitu. Dengan target audiensnya laki-laki diumur anak sekolahan, penggunaan artis pria nasional yang prestasinya di bidang sinetron pensinetronan adalah pemilihan yang keliru. Pemetaan mengenai apa yang diidolakan oleh target audiens di masa remaja dan sekolah  bisa dengan mudah kita lihat difollowing-following akun instagram. Kebanyakan dari mereka adalah tidak mengidolakan artis pria nasional yang hidupnya banyak di sinetron. Sebaliknya siapa yang mereka ikuti adalah kebalikannya yakni artis wanita nasional, musisi-musisi, dan atlit cabang olahraga populer.

Dari gambaran kedua brief tersebut, saya ingin mengatakan bahwa memahami masalah, lalu menemukan data pendukung terkait produk merupakan aspek yang penting. Namun yang lebih penting adalah bagaimana menerjemahkan data-data tersebut menjadi sebuah penerapan strategi. Dalam mengerjakan brief ini saya menggunakan data dari penelitian Youth Laboratory Indonesia sebagai dasar untuk menerapkan strategi yang sesuai-‘biar gak lari ke mana-mana’. Dari data Youth Laboratory Indonesia, saya akhirnya menggunakan pendekatan musik, musisi-musisi lokal, komunitas minoritas, namun pengaruhnya signifikan. Hasil penelitian Youthlab menyebutkan bahwa, kita tidak lagi perlu menggunakan artis-artis besar atau komunitas mayoritas sebagai trendsetter untuk market anak muda ketika itu sudah tak lagi efektif.

Saya sebenarnya sangat senang dengan apa yang dilakukan dalam sepekan di Pekan Komunikasi 2017 kemarin. Banyak dinamika, melemparkan diri kepada bacaan-yang-sudah-pernah saya pelajari, dan apa yang saya dapat di sana: pengetahuan baru dan teman baru tentunya. Kebetulan Pekan Komunikasi bisa dibilang menjadi ajang kompetisi yang pertama kali saya ikuti dan menjadi trigger saya dalam ‘menjelajahi’ kompetisi dua tahun ini. Sekarang saya berhasil menutupnya di ajang yang sama dengan hasil yang baik.

1492776679854

Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa ajang ini sebagai ‘tempat terakhir’ untuk berkarya. Ke depannya mungkin proyek-proyek yang sifatnya nyata-going to the next level jadi hal yang segar untuk saya sasar. Hal ini tentu mencoba mengamini kalimat yang ada di buku Generasi Langgas bahwa Generasi Millennials merupakan generasi yang ingin turut serta dalam pembangunan kota agar lebih maju dan lebih akomodatif terhadap youth culture.

Baiklah.

1492778828697.jpg

IMG_20170510_045839
Menyempatkan menulis ini sebelum berangkat

Processed with VSCO with hb2 preset